Kamis, 13 Jan'11
Aku sedang duduk manis menunggu kereta menjemput untuk pulang. Hari itu adalah kali pertamanya lagi aku keluar dari 'peraduan' setelah 3hari lamanya menutup diri dari sinar matahari. Kalau bukan karena ada urusan penting yang harus diselesaikan, kupikir kakiku akan sangat enggan sekali untuk menari di jalanan di bawah teriknya matahari. Aku bersyukur sekali karena ada 'sesuatu' yang bisa memaksa kakiku hingga ia tak bisa menolak untuk melangkah keluar di hari itu. :D
Singkat cerita pukul 13.30 urusanku selesai, dan aku segera menuju stasiun kereta api terdekat untuk pulang. Aku berencana pulang dengan jadwal pemberangkatan pukul 14.13. Jam 14.00 aku sudah sampai di stasiun. Langsung saja aku membeli tiket dan mencari tempat duduk menunggu kereta 'penjemput'ku datang. Tak lama lagi ia datang. 13 menit lagi.
Namun hingga waktu menunjukkan pukul 14.30 keretaku tak kunjung datang. Firasatku berkata, "Ah, pasti telat lagi ini."
Benar saja. Tak lama kemudian terdengar suara petugas informasi memberitahukan bahwa kereta yang berangkat pukul 14.13 mengalami keterlambatan dan akan datang pada pukul 15.20 nanti. "Ah...", lantas saja kata itu terucap cepat dari bibirku mendengar informasi itu. 1 jam lagi aku harus menunggu. Yang agak aku sesalkan, karena letak stasiun ini kurang strategis untuk menunggu lama. Tak ada tempat 'cuci-mata' terdekat yang bisa dikunjungi sembari menunggu kereta datang. Kalau mau aku harus naik angkot dulu, dan itu kupikir tak aman. Karena bisa saja nanti aku malah keasyikan dan terjebak macet untuk kembali ke stasiun lagi. Dan -yang lebih utama lagi- aku harus mengeluarkan tambahan ongkos untuk itu. :D
Akhirnya tak ada jalan lain selain duduk manis dan menunggu. Bagiku menunggu adalah hal yang membosankan. Mau bermain games di hape, tapi kulihat baterainya sudah berwarna merah pertanda akan memasuki fase 'kritis'.
Aku duduk termenung, sesekali kupejamkan mata, sesekali juga aku 'celingukan' melihat sekitar. Siapa tahu ada 'sesuatu' yang menarik perhatianku. Namun tetap saja aku kembali pada aktifitas awal, duduk termenung.
Hingga akhirnya ada seorang bapak tua duduk di sampingku. Ia kemudian mulai bercerita tentang anaknya pada gadis SMA disebelahnya. Aku hanya diam saja memandang lurus, namun telingaku fokus mendengarkan cerita bapak tua itu. Aku tertarik mendengarkan kisahnya :D.
Mungkin bapak tua itu merasa aku mendengarkan atau bagaimana, akhirnya bapak tua itu mengajakku juga masuk dalam obrolannya. Dia bertanya, 'neng, sakola atanapi kuliah?', lantas ku jawab saja "kuliah pak" . Bapak itu bertanya lagi, "Dimana? Semester sabaraha? Nyandak naon?". Pertanyaan yang sangat wajar ditanyakan jika mendengar 'aktifitasku' itu.
Ternyata bapak itu pensiunan ABRI. Ia menceritakan berbagai pengalamannya ketika bertugas di Irian Jaya. Bagaimana keadaan disana dan kondisi masyarakatnya yang saat itu masih memakai 'ilmu-ilmu mistis'. Tak jarang berujung maut. Selain itu ia berulang kali cerita mengenai anak-anaknya, terutama anak bungsunya (perempuan) yang kini tengah mengambil S3 di sebuah perguruan tinggi. Dari ceritanya aku bisa menilai bahwa bapak tua itu sangat terkesan dan bangga pada anak bungsunya itu. Bagaimana tidak? Kakak-kakaknya setelah lulus S1 langsung mencari kerja, sementara ia melanjutkan ke s2, dan atas biaya sendiri. Ya, menurut cerita bapak itu, semasa kuliah s1 anaknya sudah mengutarakan niatnya ingin melanjutkan s2 setelah lulus nanti. Bapaknya pun mengizinkannya, hanya saja untuk masala biaya beliau hanya bisa membantu seadanya. Namun ternyata hal itu tak mengurungkan niat anaknya melanjutkan s2. Ia melakukan berbagai usaha untuk mendapatkan tambahan dana, misalnya membuka jasa pengetikan, dll. Karena semangatnya yang begitu besar dan kegigihan usahanya, ia mendapat bantuan dana dari Pamannya untuk melanjutkan s2. Dan sekarang, diusia 24 tahun ia sudah bergelar Master dan tengah berusaha melanjutkan s3.
Bapak itu berulang kali mengucapkan kalimat-kalimat ini, 'A man, guns and God'. Manusia diberikan 'senjata' berupa akal, pikiran yang dapat dikembangkan sebagai sebuah kreatifitas. Namun selain dari itu, jangan lupa pada Dzat penting yang membuat semua itu ada, yaitu Gusti Allah. Juga kalimat ini, 'where there's a will, there's a way'. Ya, dimana ada kemauan, disitulah ada jalan. Rasanya aku sudah tak asing lagi dengan kalimat-kalimat di atas. Namun makna yang terkandung sering terlupakan. Padahal apalah arti sebuah ungkapan tanpa memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Hal itu lah yang berulang kali merasuki pikiranku. Kisah bapak tua tadi sedikit mencairkan jalan pikiranku yang rasanya terasa beku entah oleh apa. Bersyukur sekali aku pada Gusti Allah yang telah mempertemukan aku dengan hari itu, dengan bapak tua itu. Semoga Allah memberinya kesehatan selalu dan kebahagiaan di hari tuanya.
Dan semoga kisah ini tak lantas berlalu bagaikan angin. Semoga makna kisah ini terus terekam dalam pikiranku dan dapat mengingatkanku bahwa keajaiban itu ada dan akan datang pada orang-orang yang memiliki kemauan untuk 'menciptakan' keajaibannya itu sendiri...
Kereta 'penjemput' ku pun datang..
Ternyata bapak tua itu tak datang untuk naik kereta. Ia hanya menunggu saudaranya untuk menjemput. Terakhir ia menyebutkan namanya, "Pak Encep".
Segera setelah itu aku berpamitan padanya dan menaiki 'jemputan' ku. Kereta pun berjalan menjauhi stasiun, menjauhi bapak tua itu yang masih duduk menunggu..
Senang bertemu denganmu, Pak Encep ... :-)